Senin, 30 September 2013

kelompok 4

Suvina Hayati (A1B112204)
Erni Jamilah (A1B112218)
Jeni Ariana (A1B110253)

A. WUJUD MORFEM

Wujud morfem dikenal sebagai wujud huruf atau rangkaian huruf yang melambangkan bunyi . Bunyi sebagai material bahasa memiliki dua jenis, yaitu bunyi yang dapat disegmen-segmenkan (dipisah-pisahkan) dan bunyi yang tidak dapat disegmenkan. Yang pertama sering disebut juga bunyi segmental dan yang kedua sering disebut bunyi suprasegmental. Huruf atau rangkaian huruf yang melambangkan bunyi atau rangkaian bunyi sebagaimana pengertian orang awam tersebut, terbatas pada bunyi segmental saja. Bunyi suprasegmental tidak pernah dinyatakan dengan huruf atau rangkaian huruf, kecuali hanya dengan tanda-tanda tertentu yang bersifat kurang sempurna.

Lebih lanjut segmental atau segmen-segmen bunyi terkecil dalam bahasa fonem. Sesuai dengan hirarki unsur kebahasaan, semakin besar segmen bunyi itu berturut-turut adalah morfem, kata morfem, kalimat dan wacana.

Normalnya suatu wacana dapat disegmentasikan atas kalimat-kalimat. Kalimat dapat disegmentasikan atas klausa-klausa; klausa dapat segmentasikan atas frasa-frasa; frasa dapat segmentasikan atas kata-kata; kata dapat disegmentasikan atas morfem-morfem; morfem dapat disegmentasikan atas fonem-fonem.

Bunyi-bunyi suprasegmental tidak dapat dipisah-pisahkan seperti bunyi segmental. Intonasi tekanan persendian, nada dan durasi, sebagai unsur suprasegmental bahasa. Tidak dapat menempatkan kemungkinan untuk dipisah-pisahkan. Intonasi berkenaan dengan lagu. Struktur “ia baru datang” dapat di intonasikan bermacam-macam. Diantaranya intonasi berita, tanya dan seruan, tekanan berkaitan dengan keras atau lemahnya ucapan. Bagian suatu kata yang diucapkan keras adalah bagian yang mendapatkan tekanan. Persendian berkenaan dengan jeda tau perhatian ucapan, sedangkan nada bekenaan dengan tinggi rendahnya ucapan. Akhirnya, durasi berkenaan dengan panjang pendek ucapannya suatu fonem yaitu terdapat dalam suatu kata data diucapakan panjang pendek.

Baik bunyi segmental maupun suprasegmental, dalam bahasa-bahasa didunia dapat dimanfaatkan untuk membeda-bedakan makna atau maksud. Perbedaan makna antara satu lingual dengan yang lain. Mungkin ditandai dengan segmen yang berupa segmen, morfem, kata, frasa, kalusa, atau ditandai oleh bunyi suprasegmental yang berupa intonasi, tekanan, persendian, nada, atau durasi.

Berikut ini akan dikemukakan beberapa contoh yang berkenaan dalam hal itu. Tidak semua unsur segmental dan suprasegmental itu dikemukakan, tetapi khusus berkenaan dengan wujud segmen maupun supragmental morfem-morfem. Selain itu, walaupun didalam bahasa Indonesia hanya terdapat morfem yang bersifat segmental, kiranya perlu diketahui pula bahasan-bahasan lain yang terdapat dalam morfem-morfem suprasegmental.


Pertama wujud fonem atau urutan fonem segmental terdiri dari satu fonem atau lebih di dalam bahasa Indonesia, bentuk seperti /-i-/, /pe-/, /ter-/, /me-/, /di-/, /-kan/, /-dan/, /-sangat/ dan sebagainya merupakan contoh wujud segmental morfem-morfem. Disebut wujud segmental karena morfem-morfem itu dapat di segmentasikan atau merupakan hasil segmentasi serta tidak menempatkan adanya wujud unsur suprasegmental.

Fonem atau urutan fonem yang merupakan wujud morfem itu bisa berupa afiks atau imbuhan dan bisa juga berupa bentuk dasar. Bentuk-bentuk seperti {-i}, {pe-}, {ter-}, {meng-}, adalah morfem-morfem yang berupa bentuk dasar.

Kedua, bagi bahasa-bahasa tertentu urutan fonem mungkin belum menandai pengertian atau konsep yang cukup jelas. Sebagai contoh urutan fonem /bottar/ dalam bahasa Batak Toba Sumatra. Urutan fonem itu belum mempunyai pengertian yang penuh atau maknanya masih meragukan. Jika fonem tersebut diberi tekanan pada suku pertama, sehingga menjadi /bóttar/, akan memiliki pengertian ‘darah’ sedangkan yang diberi tekanan pada suku kedua, sehingga menjadi /bottár/, akan memilki pengertian ‘anggur’, dengan demikian bahasa Batak Toba memiliki morfem {bottar} dan morfem {bottar} yang masing-masing memiliki morf-segmental yang sama yaitu /bottar/ namun memiliki makna yang berbeda.

Ketiga, fonem panjang dimanfaatkan untuk membedakan makna sehingga panjang suatu fonem dapat diangggap sebagai suatu morfem. Dalam bahasa bugis, /mabatu/ bermakna ‘mencari batu’ sedangkan bentuk /mabatu/ bermakna berbantu-bantu. Dalam bahasa hokano terdapat kontras antara /ida/ yang berarti ‘mereka’ dan /idda/ yang berarti ‘berbaring’. Didalam bahasa jawa dialek tertentu (di wilayah jawa tertentu) ada yang memanfaatkan panjang fonem yang disertai dengan perubahan bunyi untuk membedakan makna. Dalam bahasa Indonesia, panjang fonem tidak pernah dimanfaatkan untuk membedakan makna.

Keempat, naik turunnya nada dimanfaatkan untuk membedakan makna. Bentuk /si/ dalam bahasa cina belum bisa diketahui artinya sebelum diketahui nadanya. Dengan nada daftar bentuk itu, berarti “hilang” dengan nada naik bentuk itu berarti “sepuluh” dengan nada turun naik berarti “sejarah” dan dengan nada turun bentuk berarti “pasar”. Sebaliknya didalam bahasa Indonesia unsur suprasegmental itu tidak dimanfaatkan sebagai pembeda makna. Kata sejarah, sepuluh, dan pasar dalam bahasa Indonesia diucapakan dengan nada apapun masing-masing tetap bermakna sama. Bunyi-bunyi suprasegmental selalu diiringi oleh bunyi-bunyi segmental. Dapat dikatakan bahwa morfem-morfem selalu berupa gabungan antara unsur segmental dan suprasegmental, misalnya nada dan persendian atau jeda, walaupun kemungkinan hubungan yang lain misalnya durasi-tekanan atau durasi-tekanan-nada, tidak pernah terjadi. Sebaliknya, morfem-morfem yang terdiri dari fonem-fonem suprasegmental hampir tidak ditemukan dalam bahasa-bahasa.

Kelima, morfem-morfem bahasa bisa tidak berwujud. Dengan kata lain suatu morfem bisa berupa kekosongan. Karena bermanifestasikan kekosongan, morfem ini hampir tidak disadari keberadaannya oleh penutur awam suatu bahasa. Contoh deretan struktur:

1. Nuraini membeli sepeda
2. Nuraini menjahit baju
3. Nuraini membaca koran
4. Nuraini menulis surat
5. Nuraini makan nasi
6. Niraini minum es

Keenam struktur kalimat diatas berpola S-P-O dengan predikat Verba transitif. Pada kalimat (1)
Sampai dengan (4) verba berprefiks mem-,meny-,men, sedangkan pada kalimat (5) dan
(6) tidak memiliki prefiks, atau tempat prefiks tidak ditandai oleh apapun. Secara semantik keempat prefiks dan kedua “kekosongan” pada keempat kalimat itu bermakna” melakukan perbuatan”. Dengan demikian walaupun bentuk makan dan minum pada kalimat (5) dan (6) tidak memiliki prefiks, kekosongan itupun disebut sebagai morf, yaitu morf zero, yang merupakan alomorf dari morfem {meng-} dengan melihat deretan struktur diatas bahwa morf {zero} (atau{Ø}) berparalel dengan morf {mem-}, {meny-}, dan {men-}, dengan pengertian yang sama. Oleh karena itu, keenam bentuk itu merupakan alomorf dari morfem {meng-}.


Wujud morfem itu, disamping morfem “tidak berwujud” atau kosong, dapat dipilah atas wujud segmental dan suprasegmental. Morfem segmental ada yang berupa afiks dan adapu pula yang berupa bentuk dasar (leksem), sedangkan morfem suprasegmental berupa tekanan, nada, intonasi, persendian, durasi.

B. JENIS MORFEM DITINJAU DARI HUBUNGAN DAN DISTRIBUSINYA

1) Ditinjau dari hubungannya
Pengklasifikasian morfem dari segi hubungannya, masih dapat kita lihat dari hubungan structural dan hubungan posisi.

a. Ditinjau dari hubungan struktur

Menurut hubungan strukturnya, morfem dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu morfem bersifat aditif (tambahan) yang bersifat replasif (penggantian), dan yang bersifat substraktif (pengurangan).
Morfem yang bersifat aditif yaitu morfem-morfem yang biasa yang pada umumnya terdapat pada semua bahasa, seperti pada urutan putra, tunggal, -nya, sakit. Unsur-unsur morfem tersebut tidak lain penambahan yang satu dengan yang lain.

Morfem yang bersifat replasif yaitu morfem-morfem berubah bentuk atau berganti bentuk dari morfem asalnya. Perubahan bentuk itu mungkin disebabkan oleh perubahan waktu atau perubahan jumlah. Contoh morfem replasif ini terdapat dalam bahasa Inggris. Untuk menyatakan jamak, biasanya dipergunakan banyak alomorf. Bentuk-bentuk /fiyt/, /mays/, /mεn/ masing-masing merupakan dua morfem /f…t/, /m…s/, /m…n/ dan /iy ← u/, /ay ← aw/, /ε/, /æ/. Bentuk-bentuk yang pertama dapat diartikan masing-masing ‘kaki’, ‘tikus’, dan ‘orang’, sedangkan bentuk-bentuk yang kedua merupakan alomorf-alomorf jamak. Bentuk-bentuk yang kedua inilah yang merupakan morfem-morfem atau lebih tepatnya alomorf-alomorf yang bersifat penggantian itu, karena /u/ diganti oleh /iy/ pada kata foot dan feet, /aw/ diganti oleh /ay/ pada kata mouse dan mice, dan /æ/ diganti oleh / ε/ pada kata man dan men.
Morfem bersifat substraktif, misalnya terdapat dalam bahasa Perancis. Dalam bahasa ini, terdapat bentuk ajektif yang dikenakan pada bentuk betina dan jantan secara ketatabahasaan.


-bentuk yang ‘bersifat jantan’ adalah ‘bentuk betina’ yang dikurangi konsonan akhir. Jadi dapat dikatakan bahwa pengurangan konsonan akhir itu merupakan morfem jantan.
Berdasarkan pernyataan di atas, kita akan berpendapat bahwa untuk “membetinakan” morfem “jantan” bisa dilakukan dengan cara menambahkan morfem-morfem lain. Itu bisa saja, tetapi kita harus ingat bahwa morfem tersebut mempunyai bermacam-macam alomorf. Jika diketahui bentuk jantannya, kita tidak dapat memastikan dengan tegas bentuk “betinanya”. Misal diketahui bentuk jantan / fraw / ‘ dingin ‘ kita tidak dapat secara tepat mematikan bahwa bentuk ‘’ betinanya “” / frawd /. Berbeda jika bentuk betinanya yang diketahui, bentuk jantannya akan dapat dipastikan dengan mudah yakni menghilangkan sebuah fonem akhir, Misalnya / gras / :gemuk: merupakan bentuk betina, maka jantannya patilah / gra /.


b. Ditinjau dari hubungan posisi

Dilihat dari hubungan posisinya, morfem pun dapat dibagi menjadi tiga macam yakni ; morfem yang bersifat urutan, sisipan, dan simultan. Tiga jenis morfem ini akan jelas bila diterangkan dengan memakai morfem-morfem imbuhan dan morfem lainnya.

Contoh morfem yang bersifat urutan terdapat pada kata berpakaian yaitu / ber-/+/-an/. Ketiga morfem itu bersifat berurutan yakni yang satu terdapat sesudah yang lainnya.
Contoh morfem yang bersifat sisipan dapat kita lihat dari kata / telunjuk/. Bentuk tunjuk merupakan bentuk kata bahasa Indonesia di samping telunjuk. Kalau diuraikan maka akan menjadi / t…unjuk/+/-e1-/.
Morfem simultan atau disebut pula morfem tidak langsung terdapat pada kata-kata seperti /k∂hujanan/. /k∂siaηgan/ dan sebagainya. Bentuk /k∂hujanan/ terdiri dari /k∂…an/ dan /hujan/, sedang /kesiangan/ terdiri dari /ke…an/ dan /siaη/. Bentuk /k∂-an/ dalam bahasa Indonesia merupakan morfem simultan, terbukti karena bahasa Indonesia tidak mengenal bentuk /k∂hujan/ atau /hujanan/ maupun /k∂siaη/ atau /sianaη/. Morfem simultan itu sering disebut morfem kontinu ( discontinous morpheme ).

2) Ditinjau dari distribusinya

Ditinjau dari distribusinya, morem dapat dibagi menjadi dua macam yaitu morfem bebas dan morfem ikat. Morfem bebas ialah morfem yang dapat berdiri dalam tuturan biasa , atau morfem yang dapat berfungsi sebagai kata, misalnya : bunga, cinta, sawah, kerbau. Morfem ikat yaitu morfem yang tidak dapat berdiri sendiri dalam tuturan biasa, misalnya : di-, ke-, -i, se-, ke-an. Disamping itu ada bentuk lain seperti juang, gurau, yang selalu disertai oleh salah satu imbuhan baru dapat digunakan dalam komunikasi yang wajar. Samsuri ( 1982:188 )menamakan bentuk-bentuk seperti bunga, cinta, sawah, dan kerbau dengan istilah akar; bentuk-bentukseperti di-,ke-, -i, se-, ke-an dengan nama afiks atau imbuhan; dan juang, gurau dengan istilah pokok. Sementara itu Verhaar (1984:53)berturut-turut dengan istilah dasar afiks atau imbuhan dan akar. Selain itu ada satu bentuk lagi seperti belia, renta, siur yang masing-masing hanya mau melekat pada bentuk muda, tua, dan simpang, tidak bisa dilekatkan pada bentuk lain. Bentuk seperti itu dinamakan morfem unik .

Dalam bahasa-bahasa tertentu, ada pula bentuk-bentuk biasanya sangat pende yang mempunyai fungsi “memberikan fasilitas”, yaitu melekatnya afiks atau bagi afiksasi selanjutnya. Contoh dalam bahasa Sangsekerta, satuan /wad/ ‘menulis’ tidak akan dibubuhi afiks apabila tidak didahului dengan pembubuhan satuan /a/ sehingga terjelma bentuk sekunder atau bentuk kedua yakni satuan /wada/ yang dapat yang dapat memperoleh akhiran seperti wadati, wadama. Bentuk /a/ seperti itu disebut pembentuk dasar.

Sehubungan dengan distribusinya, afiks atau imbuhan dapat pula dibagi menjadi imbuhan terbuka dan tertutup. Imbuhan terbuka yaitu imbuhan yang setelah melekat pada suatu benda masih dapat menerima kehadiran imbuhan lain. Sebagai contoh afiks /p∂r/ setelah dibubuhakn pada satuan /b∂sar/ menjadi perbesar /p∂rb∂sar/. Satuan /p∂rb∂sar/ masih menerima afiks lain seperti /di/ sehingga menjadi /dip∂rb∂sar/. Imbuhan /p∂r/ dinamakan imbuhan terbuka, karena masih dapat menerima kehadiran afiks /di/. Sedangkan yang dimaksud dengan imbuhan tertutup ialah imbuhan atau afiks yang setelah melekat pada suatu bentuk tidak dapat menerima kehadiran bentuk lain, misalnya afiks /di/ setelah melekat pada satuan /baca/ menjadi /dibaca/ tidak
dapat menerima kehadiran afiks lainnya. Afiks /di/ itulah merupakan contoh afiks atau imbuhan tertutup.


DAFTAR PUSTAKA

http://pgsdpunya.wordpress.com/2011/03/31/4/

Noortyani, Rusma.2010.Morfolofi Bahasa Indonesia (Kajian Seluk-Beluk Kata).Banjarbaru:Sripta Cendikia